Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Masa Kecil-ku’ Category


Teringat masa kecil dulu, dikampungku (Porsea-red) betapa senangnya aku dan adik-adikku kalau diundang ke pesta ultah anak sebaya kami (kalau ultah orang dewasa..hanya bisa berdiri dan menigintip-intip di depan pintu…menunggu dibagikan makanan atau diusir sama sekali 😀 )

Menjadi kebahagiaan tersendiri walau hanya pernah jadi “undangan” dan tidak pernah “mengundang”. Harap maklum di keluarga kami tidak ada namanya perayaan ultah usia ke berapa pun itu, karena untuk menghidupi 8 orang anak yang semuanya masih di bangku sekolah sudah cukup berat bagi orangtuaku.

Dan memang tak seorang pun dari kami menuntut itu, tidak seperti anak-anak kaya zaman sekarang yang saban hari merayakan ultah-nya di cafe, di mall dan di tempat2 ekslusif lainnya. Beruntunglah mereka.

Kalau kartu undangan sudah datang, berangkatlah kami bertiga (aku, adekku perempuan dan adekku laki-laki,kami bertiga jd teman sepermainan karna umur kami bertiga tidak terlalu jauh dibandingkan dengan saudara2ku yang lainnnya), yang tentunya sudah didandani alakadarnya dan membawa bingkisan sebagai kado alakadarnya pula.

Pernah suatu ketika, kami bertiga disuruh membawa kado satu bungkus saja, biarpun ada perasaan menolak karena malu, toh juga kami mau daripada sama sekali tidak diperbolehkan pergi.Maka alhasil kakakku membungkuskan satu kado yang lumayan besar (kotaknya pakai kotak sepatu).

Aku pikir kami pasti diejek sama teman-teman yang lain, tapi karena hati kami dibesar-besarkan dari rumah, tambah pe-de lah kami membawa “Kado Kotak Sepatu” itu.

Ehh, tanpa diduga, kami jadi bahan perhatian. Tentu saja bukan karena gaya alakadar kami yang tiba-tiba jadi “style alias Mode”, tapi semata-mata karena “Kado Kotak Sepatu” yang jadi bingkisan terbesar waktu itu.

Aku melihat betapa berbinar-binar mata anak yang ber-ultah itu, nampaknya dia senang dengan kado kami, yang tentu saja itu membuat kami dapat service lebih dari pihak yang ber-ultah hehehe, dan aku hanya bisa tersenyum geli membayangkan dia melihat isi kado kami yang ternyata cuma di isi 5 bungkus indomie (disesuaikan juga dengan keadaan ekonomi keluarga yang ditopang dari hasil dagang-maka jadilah indomie sebagai pilihan yang tepat, kata mamakku sudah lumayan itu 😀 ) hehehe.

Biasanya kalau pesta ultah begitu pasti berebutan mi bungkus dan minuman yang dibagikan dalam kantong plastik, kadang dibagikan dengan cara dilemparkan, kalau bisa ditangkap ya syukur kalau ndak, ya pecah dan jatuh ke lantai. Dan ada jga yang membuatnya sebagai alasaan untuk dapat jatah lebih 🙂

Tapi pastinya gak separah pembagian B-L-T saat ini, dan tentu saja alasannya tidak sama sebagai “salah satu solusi untuk kenaikan BBM yang kata Pak Wapres bisa berimbang antara naiknya harga dan pengeluaran orang miskin” 😀

Keesokan harinya, aku hanya bisa lewat dari depan rumah yang ber-ultah dan senyum malu-malu yang memang karena malu. Tapi untunglah orangtuanya tidak berkata apa2, mungkin perlu juga indomie itu hihihi.

Semakin bertambahnya tahun, bertambah pulak usiaku, hingga memunculkan adanya “rasa malu”, kalau ikut ke pesta ultah anak-anak di bawahku. Maka pernah suatu ketika, anak dokter dikampung kami ber-ultah, pikirku pasti agak lebih “elit” lah pesta ultah kali ini, makanannya enak-enak, ada badutnya, ada “disco-disco-nya” (dulu dikampungku sering diundang par-disco yang sering tampil di acara natal lingkungan, walaupun tak dibayar anak-anak berbakat itu tetap saja senang hatinya…termasuk elitlah mereka di pesta ultah itu). Seharusnya dengan rasa malu itu, aku sudah tidak ikut lagi, tapi pesta ultah seperti ini belum pernah kulihat, alhasil aku dan seorang temanku berencana sebagai “pengantar adik”

yang tadinya hanya menunggu di depan pintu.

Heheheh, ternyata rencana kami berhasil, tadinya kami berpura-pura malu dan tidak masuk, tp si dokter menyuruh masuk dan dikasih jatah makan pulak, hehhehe.

Teringat kado masa kecil itu, aku membayangkan bagaimana kalau aku sekarang ini dapat hadiah ultah “sebungkus indomie” yang dibungkus dalam kotak sepatu besar.Aku hanya bisa tertawa senang dan bahagia, teringat akan masa kecilku.

Kupikir juga, mungkin pemberian Tuhan itu seperti itu, aku yang melihatnya besar ternyata kecil, aku melihatnya kecil ternyata besar (dalam arti tidak begitu tahu besar kecilnya pemberian itu).

yang penting ada “bahagia dihati”, dicukupkan selalu, itu saja 🙂

Read Full Post »