Di keluargaku pernah terjadi hal seperti itu (yang berkaitan dengan adat istiadat batak) pada saat pernikahan abang sulungku,hanya karna calon parumaen-nya itu orang karo. Alasannya karna melihat 2 keluarga tetangga yang campuran laki-laki batak dan perempuan karo, si laki-laki batak lebih didominasi si istri karo , dan cenderung hanya keluarga dari karo yang sering datang berkunjung, bahkan pada pesta kelahiran anak-anak mereka.Dan memang si laki-laki batak itu pernah cerita ke teman se-arisannya, dia merasa aneh karna tak punya daya, katanya sih seperti pake magic (orang batak sering menyebutnya “na diula-ulai”).
Lain lagi case-nya sama tetangga yang lain yang anak laki-lakinya juga menikah sama orang karo, menurut pengakuan mereka, tak sedikit pun digubris keluarga pihak laki-laki di pesta adat karo itu, udah itu tak dapat pulak bayaran adat yang selama ini mereka jalani.
Mungkin karna itulah, orangtuaku berkesimpulan klo abangku menikah sama boru karo (mereka sudah berpacaran selama 8 tahun)
tak bisalah mereka bersua lagi sama abangku, adatnya tak akan terbayar impas sesuai adat yang sudah dijalankannya ditambah lagi adanya rumor dari “parobat-obat” yang bilang kalo ito-ku tak akan berumur panjang jika menikah dengan si boru karo (kata oma-ku si oppung itu melihat alkitab dulu untuk menyatakan hal itu bah fenomena apa pulak ini! Siapa pulak suruh pergi ke parubatubat!),
Alhasil pada kunjungan pertama calon eda-ku itu langsung disambut masam sama oma-ku
“Jangan kau kira setuju aku kau menikah sama anakku itu ya!”
Padahal calon eda-ku itu sudah begitu sopan santunnya dan baiknya sampai2 seingatku dia menyeduk nasi yang paling bagus sama kami sekeluarga dan dia malah memilih makan kerak-nya (untuk kasus ini oma-ku sich langsung pengertian dan mulai memuji walau hanya dalam hati)
Halah dalam hatiku waktu itu seandainya aku diperlakukan begitu ama calon mertuaku, tak usahlah jadi nikah, emang holan anak-mi heheh ego-ku.
Dulu itu aku masih sd apa smp, jadi sedikit banyak terpengaruh, tapi tetap saja aku duduk berdua dengan calon eda-ku itu menanyakan kisah cintanya ama ito-ku, menurutku ini lebih menarik daripada memperdebatkan adat-istiadat itu.
Begitu juga dengan pihak keluarga eda-ku karna dia juga anak perempuan sulung, jadi pesta harus diadakan di tanah karo, belum lagi waktu itu memperdebatkan sinamot.
Tadinya kedua belah pihak ngotot-ngototan sampai2 pernikahan hampir dibatalkan.
Tapi syukurlah semuanya sudah berlalu, karna kekuatan cinta keduanya, si ito bilang hanya akan menikah denga si eda ama oma-bapaku dan si eda bilang hanya akan menikah dengan ito-ku kepada keluarganya.
Sekarang sudah dikarunia 1 anak laki2 yang pintar2 dan lucu dan calon bayi permepuan dan sekarang malah eda-ku itu jadi “parumaen” yang dipuji-puji karna kebaikan hatinya, begitu juga ito-ku jadi hela yang paling baik (ya iyalah karna dialah hela satu-satunya untuk beberapa tahun…jangan ge-er ya bang J). Maka sekarang kami anak-anaknya sudah berani bilang “Mungkin seandainya boru batak toba yang jadi parumaen-mu diperlakukan kayak gitu, sudah marbadai kalian sampe sekarang” 🙂J
Pernah juga dengar satu cerita kakak teman-ku yang sudah matang merencanakan pernikahan (kedua calon tinggal di Jakarta, dan orangtua masing2 tinggal di kecamatan yang sama). Saking sudah sepakatnya, jadilah mereka sudah mempersiapkan baju pernikahan dan lain-lainnya. Sudah diberitahukan kepada orangtua kedua belah pihak, tapi entah karena alasan apa tiba-tiba pihak laki-laki memutuskan hubungan, kedua orangtuanya tidak setuju pernikahan dilangsungkan. Entah masalah apa yang terjadi di kampung antar kedua orangtua itu, Rumor-nya sih, karna seperti biasanya pihak orangtua ada acara intip-mengintip bibit-bebet-bobot antar keluarga, jadi pihak keluarga si laki-laki atau si perempuan pergi ke huta tempat tinggal si laki-laki atau perempuan untuk jadi mata-mata mencari informasi keadaan keluarga masing2 (lumayan kalau yang dilihat hanya sifat2 baik bukan pada harta kekayaan). Alhasil si pihak laki-laki mungkin menemukan cerita yang tak sedap tentang keluarga si perempuan, jadilah hubungan diputuskan, sekarang si perempuan hanya merana sambil memandangi baju nikah-nya.
Lantas kupikir, kok masih ada ya orangtua yang hanya menilai anak orang lain dari orangtuanya, memang iya mungkin istilah “dang dao tubis sian bona na ” masih berlaku. Tapi kenapa gak melihat dulu dan menilai secara langsung si calon parumaen/hela nya itu apakah pantas atau tidak jadi pendamping anaknya, kenapa hanya melihat orangtuanya yang belum tentu si anak meniru semua yang buruk dari orangtuanya??
Halah harapku mudah-mudahan memang adat itu tidak dipakai sekaku-kakunya dan dipatok harga mati semati-matinya.
Untuk bahasan lebih lanjut silahkan baca pendapat dari seorang orang tua batak yang humoris yang kukagumi. Ini jawaban beliau untuk seorang perempuan yang hendak menikah dan punya masalah menggunakan/tidak menggunakan adat batak antar kedua belah pihak keluarganya.
———— ——–
C yang baik,
Pertama, saya mohon maaf karena terlambat menjawab komentarmu di blog
saya. Kedua, saya mohon maaf kalau menjawab atau menanggapi komentar
itu secara tertutup dan lewat jalur pribadi.
Nanti, saya akan tanggapi juga komentarmu secara umum dan terbuka.
Tapi karena di dalam tanggapan yang khusus ini saya akan banyak
memberikan pandangan atau pendapat saya sendiri, dan yang mungkin
tidak akan sesuai dengan pemahaman banyak orang Batak (dan yang bisa
membuat polemik jadi berkepanjangan) , maka saya memilih untuk
menjawabnya secara panjang-lebar lewat jalur pribadi.
Sebagai orang Batak yang menganut agama Kristen maka saya selalu
berpendapat bahwa adat Batak yang saya jalankan itu haruslah
merupakan manifestasi dari kasih di dalam Kristus. Sistem
kekerabatan, ritus dan pernik-pernik upacara adat itu haruslah
memberi damai dan sukacita kepada semua kita yang terlibat di
dalamnya dan kepada orang lain yang menyaksikannya.
Saya memang tidak seperti beberapa kalangan Kristen Batak lainnya itu
yang samasekali mengharamkan adat Batak. Bagi saya adat itu adalah
kekayaan budaya yang merupakan identitas sekaligus memperkaya hidup
kita. Tapi adat itu tidak boleh membuat kita–sebagai penyandangnya- –
menjadi jatuh miskin, berkelahi, marah-marah atau sakit. Adat itu
tidak boleh memperkuda dan mengekang kemanusiaan kita.
Saya mengakui bahwa dewasa ini banyak sekali praktek-praktek adat
Batak yang justeru tidak memanifestasikan kasih di dalam Kristus.
Adat menjadi manifestasi ego yang berlebihan dan yang membuat orang
jadi susah. Dan saya rasa itu jugalah alasannya–walau pun dalihnya
adalah firman Tuhan–yang membuat banyak orang menjadi antipati
dengan adat Batak.
Dalam kaitan dengan pemikiran di atas maka saya juga berpendapat
bahwa pesta perkawinan secara adat janganlah menjadi sebuah pekerjaan
yang menyusahkan siapa pun; terutama menyusahkan kedua calon mempelai
yang hendak menikah itu. Upacara pernikahan adalah upacara sukacita.
Karena itu seyogianyalah semua orang yang terlibat di dalamnya harus
bisa mengalami sukacita, baik itu sebelum, selama dan sesudah upacara.
Saya selalu berpendapat bahwa adat itu bukanlah barang yang kaku dan
punya harga mati. Kita harus selalu bisa menemukan kompromi yang
dapat diterima oleh semua orang. Menurut pendapat saya, yang paling
penting dari adat adalah esensi atau makna yang terkandung di
dalamnya. Bukan gaya atau bungkusnya.
Kalau biaya adalah kendala kita tokh bisa mengurangi jumlah tamu yang
diudang sedemikian rupa sehingga di satu sisi unsur-unsur yang harus
hadir di dalam upacara tersebut tetap terwakili. Kalau faktor budaya
adalah kendala (misalnya mempelai itu berasal dari etnis yang
berbeda) kita tokh bisa mengatur agar ritus atau fungsi adat Batak
itu tetap berjalan tanpa harus “membatakkan” budaya orang lain.
Tapi saya harus mengakui bahwa sebagian besar orang Batak masih
menganggap adat sebagai sesuatu yang kaku dan punya harga mati. Dan
karena itu jugalah pesta-pesta adat Batak itu (terutama pesta
pernikahan) menjadi sangat stereotype. Urutan prosesinya, kata-
katanya, lagu-lagunya, dsb menjadi serupa dan membosankan. Padahal
dalam melaksanakan sebuah tuntutan upacara adat setiap orang memiliki
keterbatasan masing-masing. Kalau tuntutan itu bisa disesuaikan
dengan keterbatasan masing-masing orang maka alangkah variatif dan
kayanya adat atau budaya kita itu.
Pesta pernikahanmu juga adalah sebuah peristiwa sukacita bagimu dan
calon suamimu, bagi kedua orangtua kalian, dan bagi sanak-saudara
dari kedua belah fihak. Karena itu bicaralah baik-baik dengan
orangtuamu. Carilah sanak saudara (amanguda, amangtua, ito, dan
terutama tulang) yang bisa berpikir progresif dan mampu meyakinkan
orangtuamu bahwa adat adalah manifestasi kasih, dan bahwa pelaksanaan
adat janganlah membuat hubungan antara kau dan suamimu, dengan ayah
dan ibumu, dengan calon mertuamu dan dengan keluarga besar dari kedua
belah fihak menjadi tegang. Bahwa adat bukanlah hal yang membuat kita
susah, justeru harus membuat kita bersukacita. Dan (karena itu) bahwa
adat adalah sesuatu yang–kalau kita kreatif–bisa tetap dijalankan
secara penuh makna walau pun dengan biaya dan jumlah hadirin yang
relatif kecil.
Memang–disebabkan oleh egonya–acapkali orangtua membuat sebuah
rencana pernikahan sering menjadi terkatung-katung, dan yang pada
gilirannya menimbulkan ketegangan pada diri kedua calon mempelai.
Saya juga sedang menghadapi hal yang sama. Ada seorang lelaki, anak
dari adik isteri saya, yang sudah merencanakan pernikahannya dengan
seorang wanita. Tapi ibu si anak lelaki itu (adik isteri) yang
kebetulan sudah menjanda ngotot agar pernikahan dilakukan di kotanya.
Sampai batas tertentu saya bisa memahami keinginan ibu tersebut. Dia
mungkin ingin “membalas” undangan yang selama ini diterimanya. Tapi
orangtua si perempuan ingin agar pesta pernikahan dilakukan di
kotanya. Kedua fihak yang akan berbesan itu sebenarnya sudah bertemu
langung dan orangtua si perempuan sudah setuju bahwa puterinya
menjalani pesta pernikahan di kota calon suaminya. Tapi rupanya
kesepakatan itu oleh fihak calon mempelai perempuan diambil secara
terpaksa’ karena fihak calon mempelai pria ngotot. Walhasil terjadi
ketegangan. Dari mulut calon mempelai perempuan rupanya terlontar
kata-kata yang terkesan negatif tentang calon mertuanya (adik isteri
saya). Si lelaki tentu saja tak bisa menerima bahwa ibunya diejek.
Akhirnya, kedua pasangan yang hendak menikah itu berkelahi dan
sekarang sedang tidak saling omong. Si anak lelaki datang mengadu
kepada isteri saya (inangtuanya) dan kepada saya, serta meminta
pendapat apa yang harus dilakukannya. Saya pusing tujuh keliling.
Saya tak tahu harus berbuat apa karena secara adat saya
hanyalah “pariban” dan yang tak terlalu mempunyai fungsi. Saya hanya
bisa berkata kepada isteri saya, “Saya bingung melihat orangtua yang
seperti ini. Yang mau kawin sebenarnya siapa sih? Koq hanya gara-gara
lokasi upacara pernikahan urusan menjadi ruwet seperti ini….”
C yang baik,
Itulah tanggapan dan pandangan yang bisa saya berikan. Selebihnya
saya hanya bisa ikut berdoa semoga Tuhan membukakan pikiran ayah dan
ibumu. Mudah-mudahan pikiran mereka tentang adat bisa dibuat sedikit
lebih “lentur” dan “kompromistis” agar semua fihak–terutama kau dan
calon suamimu–bisa menjalani upacara itu dengan penuh sukacita.
———— ———